Monday, May 15, 2017

Masalah Bullying dan Peran Sekolah

Banyak orang saat ini yang menggunakan kata bully. Orang-orang bilang, "saya sering kena bully ni", "kamu sukanya mem-bully orang ya..". Istilah ini memang tergolong baru dalam kosa kata kita dalam percakapan sehari-hari. Istilah itu baru muncul kira-kira 10 tahun terkakhir bersamaan dengan berkembangnya era medsos.

Namun apa sebenarnya makna bullying itu? Kadanga bullying sering terbolak-balik dimaknai sebagai tindakan 1) bercanda atau 2)kekerasan, padahal masing-masing berbeda. Bercanda terjadi ketika semua pihak merasa senang dengan perlakuan yang ada, semua tertawa semua bahagia. Kekerasan, istilah ini sudah jelas, terjadi ketika ada satu pihak melakukan tindakan fisik kepada pihak lain yang bisa saja korban melakukan tindakan balasan. Sedangkan bullying itu sendiri unik, berbeda dengan kedua tindakan tersebut. Ada yang mengatakan “kan aku cuma bercanda doang..”, tetapi orang yang dibercandai itu merasa tidak nyaman dan tidak bahagia, maka itu bukan bercanda, tetapi suatu bully-an. Bullying juga tidak sama dengan kekerasan, kalau kekerasan yang disasar adalah fisik, tetapi bullying yang disasar adalah psikisnya.

Tindakan Bullying terjadi minimal ada 3 unsur atau pihak yang terlibat, yaitu: pelaku, penonton/supporter, dan korban. Jadi, bullying melibatkan lebih dari dua orang. Tanpa tiga pihak tersebut, maka tindakan yang terjadi tidak sampai pada bullying.

Pertama pelaku bullying, pelaku biasanya adalah orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari korban, bisa karena struktural atau kondisi ekonomi-sosial. Namun, pelaku juga tidak selamanya orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Ada orang yang mem-bully orang lain karena ingin menaikkan harga dirinya, atau ingin dipandang lebih berkuasa daripada yang lain, padahal dia sebenarnya tidak demikian.

Kedua penonton/supporter, dalam tindakan bullying penonton/ supporter sangat berperan penting dalam keberhasilan aksi tersebut. Pelaku bullying pasti akan melihat situasi, adakah penonton/ supporter ketika melakukan aksi tersebut. Ketika penonton/supporter semakin banyak, akan semakin menambah keberanian pelaku untuk mem-bully korban dan menjadikan dirinya merasa di atas awan dan puas. Sorak-sorai penonton/ supporter adalah sensasi yang ingin dicari dari pelaku bullying itu sendiri. Biasanya pelaku bullying tidak akan berani ketika berhadapan secara empat mata sendiri dengan si korban, dia akan mencari orang lain yang bisa diajak untuk melakukan tindakan tersebut. Maka dari itu, tindakan bullying biasa terjadi dalam suatu komunitas sosial seperti di sekolah, kampus, atau di kelompok-kelompok lain (juga medsos) yang memungkinkan banyak orang menyaksikan.

Ketiga korban bullying, korban adalah orang yang biasanya memiliki perbedaan dari komunitas sosialnya. Ada ketimpangan antara pelaku-penonton dan korban itu sendiri dalam suatu aspek. Misalnya di sekolah, ada anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu atau ada anak yang memiliki kebutuhan khusus, maka anak tersebut akan rentan terkena bully-an dari teman-temanya. Ada juga anak yang kemampuan dan kemauanya di kelas melebihi daripada yang lain, maka kadang anak itu juga akan terkena bully-an karena sikapnya yang terkesan sok tau. Para pelaku tidak rela ada temanya yang melebihi dirinya, sehingga mereka membuat suatu kondisi artifisial yang menjadikan dirinya seakan selalu di atas di mata korban atau teman-teman lainnya.

Efek dari tindakan bullying akan mengakibatkan korban merasa terpojok dan terkucilkan dari lingkunganya. Jika korban memiliki mental yang kuat dia akan merasa baik-baik saja dengan tindakan tersebut bahkan menjadikan tindakan itu sebagai pemacu untuk semakin maju dan berbenah diri, tetapi jika korban adalah orang yang memiliki mental lemah, maka bullying akan sangat mempengaruhi dirinya. Memang para korban bullying tidak dapat diidentifikasi secara kasat mata, tetapi jika  bullying terjadi secara terus menerus akhirnya akan terlihat perubahan perilaku pada korban. Banyak contoh kasus di sekitar kita ada anak yang awalnya biasa saja, suatu saat mengalami perubahan sikap, menjadi pendiam, tidak PD, dan bahkan ada juga yang berujung dengan tindakan bunuh diri. Dalam ranah hukum tindakan bullying sulit dikategorikan dalam tindakan kejahatan tertentu terutama yang bersifat verbal (kecuali yang terdokumentasi dalam medsos bisa dikenai UU ITE) sehingga para pelaku akan merasa leluasa dalam melakukan aksi pada waktu berikutnya.

Di lingkungan sekolah, tindakan bullying sering terjadi antara satu siswa dengan siswa lainnya. Dalam suatu studi yang dilakukan, perilaku bullying yang terjadi di Indonesia, 80%nya terjadi di instansi pendidikan. Tidak hanya terjadi pada jenjang pendidikan tinggi atau menengah, bahkan setingkat TK atau PAUD pun tindakan bullying bisa terjadi, tetapi dengan bentuk yang berbeda. Kultur  atau kebiasaan yang turun temurun menjadikan bullying tidak mudah untuk dihilangkan, bahkan hal itu terkesan sebagai tindakan yang wajar/lumrah dalam pergaulan sosial. Padahal efek negatif dari tindakan tersebut yang tidak terdeteksi sejak dini dan menumpuk tentu menyebabkan siswa-siswa yang menjadi korban akan terganggu untuk mencapai prestasi akademiknya.

Perlu penanganan yang sistematis dan holistik dalam menangani masalah bullying di sekolah. Unsur yang terlibat tidak hanya guru BK, melainkan semua pihak berkewajiban terlibat di dalamnya, minimal dengan memberi contoh atau tauladan yang baik untuk sekitarnya. Perlu ada SOP yang jelas dalam menangani masalah tersebut sehingga tidak terjadi feedback dari sekolah yang justru negatif dan memperparah kondisi korban. Misalnya, dengan menceramahi siswa korban dengan kata-kata “kamu digituin aja, ngambek”, “Kamu kok cengen banget sih”, dll. Penanganan juga tidak hanya dilakukan kepada korban, tetapi juga kepada pelaku dan penonton/pendukung yang sejatinya dari merekalah sumber masalah bermula. Dengan melakukan pengondisian sikap yang kontinyu, maka kebiasaan buruk tersebut dapat dihilangkan. Oleh karena itu, sekolah disamping sebagai komunitas sosial juga sebagai instansi formal perlu menerapkan kurikulum yang mampu menangani masalah sosial tersebut, sehingg tercipta suasana sekolah yang menjadikan semua siswanya merasa aman untuk belajar.

*Catatan Seminar Pendidikan, 27 April 2017 @UGM


No comments:

Post a Comment