Tidak mungkin seorang yang mencoba untuk ikhlas kemudain ia mengungkit-ungkit amal yang telah diperbuatnya. Pasti ia akan selalu menjaganya hingga tak siapapun tahu. Ketika ada seseorang yang melihatnya sedang beramal, ia tak berusaha memperindah. Dalam fikirnya hanya balasan Allah yang menjadi tujuan. Ia tidak ada beda beramal ditempat ramai ataupun ditempat yang tak seorang meliatnya. Dirinnya tetap tegar betapapun lingkungan berusaha mempengaruhi. Cacian, hinaan, ejekan sekedar ia jadikan sebagai peringatan bahwa dirinya tidak seperti Rasul yang sempurna. Ia sadar akan hal itu dan tidak terlalu risau dari kebisingan ditelinga. Ia terus bergerak maju, istiqomah dan tetap tawadu’. Jika dirinnya memang salah, dia segera mengevaluasi dan melakukan perbaikkan tanpa harus melawan untuk mempertahankan harga diri. Ia jalani hidup mengalir, seperti air yang selalu mencari celah untuk menuju ke muara kebahagiaan sejati. Namun pujian adalah sesuatu yang mengganggunya, ia tak senang jika orang-orang terlalu hiperbolis. Bahkan ia merasa malu untuk sekedar berbicara apa adanya, karena ia tahu semua hanya pemberian dariNya. Amalan-amalan yang telah diperbuat berusaha ia kubur dalam-dalam, rata dengan tanah, hingga tak menghalangi saat ia melanjutkan perjalanan. Akan tetapi suatu saat ada pihak-pihak yang sengaja membongkar kubur itu hingga dirinya terbayang-bayang oleh memori lama. Jika demikian, dia segera bergegas, lari secepat mungkin hingga keluar dari radius bahaya ledakan kesombongan. Bertahan dalam hati yang ikhlas memang sangatlah berat meskipun terlihat jauh lebih ringan dari pada sehelai serat kapas. Ikhlas hanya perkara hati, tidak nampak, tidak berasa, tetapi itulah perkara yang menentukan akan kemana penghujung dari hidup kita
No comments:
Post a Comment