1. Sejarah Sindrom Proteus
Sindrom Proteus merupakan kelainan yang terjadi pada pertumbuhan manusia. Orang dengan kelainan ini mengalami abnormalitas dalam pertumbuhan tulang, kulit, kepala dan berbagai gejala lain jika dibandingkan dengan pertumbuhan manusia biasa. Kelainan tersebut pertama kali diindentifikasi oleh seoranga ahli Michael Cohen pada tahun 1979. Pada tahun 1983 kelainan tersebut kemudian diberi nama sindrom Proteus oleh dokter bedah Jerman, Hans-Rudolf Wiedemann. Nama Proteus diilhami dari mitologi dewa yunani Proteus yang dijuluki “the polymorphous” karena tubuhnya dapat berubah bentuk. Sindrom Proteus menjadi dikenal secara luas di dunia setelah Joseph Merrick seorang artis Eropa pada tahun 1980an yang dijuluki sebagai manusia gajah “Elephant Man” dengan tumor besar di wajahnya dan warna keabu-abuan kelebihan kulitnya didiagnosis terkena sindrom Proteus. Namun anehnya, lengan kiri Merrick dan genital-nya seluruhnya tidak terkena efek oleh kondisi yang mengubah bentuk bagian tubuhnya yang lain tersebut.
2. Gejala Sindrom Proteus
Gejala Sindrom Proteus ditandai dengan pertumbuhan bagian tubuh yang berlebihan (abnormal) seperti pada tulang, kulit, dan beberapa jaringan. Pertumbuhan abnormal tersebut biasanya menghasilkan bentuk tubuh yang tidak simetri (asimetri) atau tidak beraturan. Namun pada individu yang memiliki sindrom tersebut tidak semua tubuhnya mengalami kelainan, hanya pada bagian-bagian tubuh tertentu saja yang mengalami gejala tersebut. Penjelasan hal ini akan dibahas pada poin selanjutnya.
Pada anak yang baru lahir sebagai penderita sindrom Proteus, pada awal pertumbuhan tubuhya tidak menunjukkan adanya gejala, tetapi setelah usianya menginjak 6 hingga 18 bulan gejala tersebut mulai nampak. Pada masa anak-anak gejala dapat terlihat dengan adanya perkembangan kulit yang abnrormal termasuk pertumbuhan jaringan lemak yang berlebihan pada bagian perut, lengan, atau tungkai.
Kelainan tulang merupakan gejala yang banyak ditemukan pada penderita sindrom Proteus. Makrodactyly merupakan salah salah satu dari sekian banyak manifestasi dari sindrom Proteus. Gejala tersebut dapat diiringi dengan Clinodactyly (pembelokan satu atau beberapa jari), Syndactyly (penggabungan jari), dan Polydactyly juga dapat terjadi.
Pada penderita sindrom Proteus dapat mengalami malformasi dari sistem saraf pusat seperti pertumbuhan yang berlebihan pada setengah bagian dari otak (hemimegalenchephaly). Pada beberapa kasus, keterbelakangan mental dapat terjadi. Namun, kelainan ini tidak secara langsung menyebabkan hal tersebut, pertumbuhan mungkin menyebabkan kerusakan sekunder pada sistem saraf yang menyebabkan cacat kognitif. Sebagai tambahan, perubahan bentuk yang kelihatan dapat memberikan dampak negatif pada pengalaman sosial penderita, menyebabkan defisit kognitif dan sosial. Individu yang bersangkutan tersebut biasanya memiliki wajah yang panjang, lipatan kelompok mata yang miring dan menurun (palpaebral fissures), kelopak mata yang jatuh, lubang hidung yang besar, dan kepala yang panjang dan sempit (dolichocephaly).
Komplikasi lain akibat dari sindrom Proteus adalah resiko tumbuhnya berbagai jenis tumor noncancerous (tumor jinak). Tumor yang diasosiasikan dengan sindrom Proteus adalah bilateral ovarian cystadenomas, kelompok tumur kelenjar saliva yang dikenal dengan monomorphic adenomas, dan meningiomas. Neoplasma berhubungan juga dengan sindrom Proteus termasuk lipomas, dan monomorphic parotid adenomas.
Malformasi beberapa pembuluh darah dapat terjadi pada penderita sindrom Proteus. Pembuluh kapiler, vena, dan pembuluh limfa terkena dampaknya.Gumpalan darah yang disebut venos thrombosis (DVT) juga dapat terjadi pada penderita sindrom Proteus. DVT sering terjadi pada pembuluh bagian dalam dari lengan kaki atau tangan. Jika gumpalan tersebut mengalir melalui aliran darah, maka gumpalan tersebut akan dapat menyangkut di saluran paru-paru dan mengakibatkan pulmonary embolisme. Pulmonary embolisme merupakan sebab utama dari kematian orang yang terkena sindrom Proteus.
Terjadi juga anomali struktur dan fungsi organ dalam tubuh. Anomali organ dalam merupakan hal yang jarang terjadi jika dibandingkan kelainan pada tulang, kulit, dan jaringan tubuh. Anomali pada organ dalam diantaranya adalah splenomegaly, asymetric magalencephaly, white-matter abnormalities, nephromegaly, perubahan pada paru-paru dan pulmonary emboli, perubahan pada limpa, kelenjar thymus, kolon, paru-paru, ginjal, dan saluran kencing.
3. Penyebab Sindrom Proteus
Sindrom Proteus bukan disebabkan karena tindakan orang tua sebelum atau selama kehamilan. Sindrom Proteus juga tidak disebabkan karena paparan lingkungan sebelum atau selama kehamilan. Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa Sindrom Proteus disebabkan karena mutasi mosaik pada gene yang disebut AKT1. Dengan demikian sindrom Proteus merupakan penyakit atau kelainan yang disebabkan faktor genetik. Pada gambar 5 terlihat bagaimana terjadinya mutasi DNA pada salah satu sel setelah peristiwa peleburan inti sperma dengan inti sel telur. Adanya pertumbuhan dan perkembangan sel, maka sel mutan yang pada awalnya hanya satu betambah banyak dan pada akhirnya menjadi bagian penyusun tubuh tertentu.
a. Gen AKT1
Gen merupakan bagian dalam materi genetik yang bertindak sebagai pengatur pertumbuhan dan perkembangan tubuh karena gen memiliki cetak biru untuk membuat protein, yang merupakan senyawa kimia yang bertanggung jawab pada seluruh fungis penting tubuh. AKT1 adalah bagian dari kelas gen oncogenes yang terlatak pada lengan panjang kromosom 14 pada posisi 32.32 dan secara akurat terletak pada pasangan basa 104,769,349 hingga pasangan basa 104,795,743. AKT1 menyandi suatu protein yang bertindak seperti tombol pengaktifan untuk mengontrol pertumbuhan sel. Protein tersebut adalah AKT1 kinase. Protein AKT1 kinase berinteraksi dengan protein-protein lain untuk mengontrol ketika sel tubuh telah waktunya untuk tumbuh atau membelah, istirahat dan mati (apoptosis). Signaling yang melibatkan AKT1 kinase secara esensial juga muncul untuk perkembangan normal dan bagian dari fungsi sistem saraf. Penelitian telah menduga bahwa AKT1 kinase juga berperan dalam komunikasi sel ke sel pada sel-sel saraf, neuronal survival, dan pada pembentukan memori. Ketika gen AKT1 mengalami mutasi maka dapat menjadikan suatu sel yang normal dapat memiliki sifat kanker.
b. Mutasi Mosaik Gen AKT1
Tubuh manusia tersusun dari jutaan sel yang berbeda. masing-masing sel memiliki kopianya sendiri-sendiri yang terdapat dalam gen. Perubahan gen secara mosaik dapat menimbulkan munculnya berubahan ekspresi pada bagian tubuh tertentu, tetapi yang lain tidak. Sindrom Proteus disebabkan karena perubahan gen AKT1 dengan adanya mutasi. Nama umum untuk perubahan tersebut adalah “c. 49G>A, p.Glu17Lys,” yang disebut “pengaktivan mutasi”. Secara spesifik, adanya mutasi menyebabkan asam amino glutamin berubah menjadi asam amino lisin pada protein dengan posisi 17. Mutasi tersebut menyebabkan produksi AKT1 kinase yang overaktif yang seharusnya tidak. Berbeda dengan penyakit genetik yang menurun, mutasi gen yang menyebabkan sindrom Proteus terjadi secara spontan setelah pembuahan pada suatu sel dalam perkembangan embrio. Adapun tingkat keparahan sindrom Proteus tergantung pada terjadinya perubahan genetik secara spontan saat fase perkembangan embrio. Ketika embrio tumbuh dan berkembang, hanya sel-sel keturunan dari sel yang mengalami mutasi pada AKT1 sajalah yang menyebabkan munculnya gejala sindrom Proteus. Adanya individu dengan campuran sel yang normal dan sel yang mengalami mutasi inilah yang dimaksud dari mosaik genetik. Perubahan gen AKT1 kemudian membuat protein yang dihasilkan menjadi tidak normal (abnormal).
Protein abnormal tersebut kemudian menambah tingkat pertumbuhan sel dan dapat melindungi sel dari kematian, sehingga seseorang dengan sindrom Proteus mengalami pertumbuhan yang berlebihan dan meningkatkan resikon terkena tumor.
c. Karakter Hereditas Sindrom Proteus
Sindrom Proteus merupakan kondisi yang jarang terjadi, dimana hanya ada 1 orang penderita diantara 1 juta orang di seluruh dunia. Hanya sedikit individu penderita yang dilaporkan dalam literatur kesehatan karena untuk mengindentifikasi apakah suatu kelainan termasuk sindrom Proteus atau bukan sangat sulit dilakukan.
Sindrom Proteus disebabkan karena mutasi pada gen AKT1 yang terjadi selama perkembangan awal embrio, sehingga kelainan ini bukan merupakan kelainan bawaan dari orang tua. Hal itu berbeda dengan suatu kelainan lain yang didapat dari gen induknya baik terpaut kromosom somatik atau kromosom germinal yang dapat menurun ada anaknya. Gen penyebab sindrom Proteus termutasi setelah fase pembuahan atau pada fase pertumbuhan embrio. Namun tidak semua sel pada fase tersebut yang mengalami mutasi pada DNAnya, hanya sebagian saja dari sel-sel pada fase pertumbuhan embrio yang mengalami mutasi karena sebabt tertentu. Dengan demikian sindrom Proteus hanya diderita oleh individu yang bersangkutan dan ketika individu tersebut melakukan perkawinan, maka anak-anaknya akan tetap normal. Namun, jika mutasi mosaik terjadi juga pada sel yang bertindak sebagai bakal sel kelamin, maka mutasi tersebut akan dapat diturunkan kepada anak-anaknya.
4. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik beberap kesimpulan, yaitu:
a. Gejala penderita sindrom Proteus pada umumnya adalah adanya pertumbuhan yang berlebihan pada bagian tubuh tertentu yang asimetris, seperti pada tulang, tengkorak, kulit, dan jaringan tubuh.
b. Sindrom Proteus disebabkan karena adanya peristiwa mutasi mosaik suatu gen pada suatu sel yang terjadi pada saat fase perkembangan embrio setelah pembuahan terjadi.
c. Sifat hereditas atau penurunan dari sindrom proteus ditentukan oleh sel embrio bagian mana yang mengalami mutasi, jika sel yang mengalami mutasi merupakan cikal bakal tubuh somatik maka kelainan tidak dapat menurun kepada keturunanya, tetapi jika sel yang mengalami mutasi adalah cikal bakal organ penghasil sel germinal maka kelainanya dapat menurun kepada keturunanya.
Daftar Pustaka
Amir H. Taghinia, John B. Mulliken , Gary F. Rogers. (2007). A Case of Proteus Syndrome With Lateral Embryonal Vein and Frontal Intraosseous Lipoma. Cleft Palate-Craniofacial journal, Vol 44 No.5.
Asher Ahmed Mashhood, Hafiz Muhammad Ashraf, Muhammad Usmanullah. (2007). Proteus syndrome: a case report. Journal of Pakistan Association of Dermatologists, 17: 270-273.
Carlos A. Jamis-Dow, MD, Joyce Turner, MS, Leslie G. Biesecker, MD, et. al. (2004). Radiologic Manifestations of Proteus Syndrome. Diunduh melalui https://www2.rsna.org/, pada tanggal pada tanggal 2 Januari 2016, Pukul 22.00 WIB.
Hiba HikmatMaqdasi. (2014). Proteus Syndrome. American Journal of Medical Case Reports, Vol. 2, No. 7, 136-138.
Leslie G Biesecker & Julie C Sapp.(2012). Proteus syndrome. Diunduh melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK99495/, pada tanggal pada tanggal 2 Januari 2016, Pukul 22.00 WIB.
Marjorie J. Lindhurst, Julie C. Sapp, Jamie K. Teer. (2011). A Mosaic Activating Mutation in AKT1 Associated with the Proteus Syndrome. The New England Journal of Medicine, N Engl J Med 2011;365:611-9.
National Human Genome Research Institute. Gene variant in Proteus syndrome identified: Molecular insight may confirm cause of the Elephant Man's severe disfigurement. Diunduh melalui http://www.genome.gov/27544865, pada tanggal 2 Januari 2016, Pukul 22.00 WIB.
National Organization for Rare Disorders. Proteus syndrome. Diunduh melalui https://rarediseases.org/, pada tanggal pada tanggal 2 Januari 2016, Pukul 22.00 WIB.